Patofisiologi
Pengertian patofisiologi/ definisi patofisiologi. Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari gangguan fungsi pada organisme yang sakit meliputi asal penyakit , permulaan perjalanan dan akibat. Penyakit adalah suatu kondisi abnormal yang menyebabkan hilangnya kondisi normal yang sehat. Ditandai oleh tanda dan gejala, perubahan secara spesifik oleh gambaran yang jelas morfologi dan fungsi dsb.
Patofisiologi Migren
Cutaneous allodynia (CA) adalah nafsu nyeri yang ditimibulkan oleh stimulus non noxious terhadap kulit normal Saat serangan/migren 79% pasien menunjukkan cutaneus allodynia(CA) di daerah kepala ipsilateral dan kemudian dapat menyebar kedaerah kontralateral dan kedua lengan. Allodynia biasanya terbatas pada daerah ipsilateral kepala, yang menandakan sensitivitas yang meninggi dari neuron trigeminal sentral(second-order) yang menerima input secara konvergen. Jika allodynia lebih menyebar lagi, ini disebabkan karena adanya kenaikan sementara daripada sensitivitas third order neuron yang menerima pemusatan input dari kulit pada sisi yang berbeda, seperti sama baiknya dengan dari duramater maupun kulit yang sebelumnya.
Ada 3 hipotesa dalam hal patofisiologi migren yaitu: Pada migren yang tidak disertai CA, berarti sensitisasi neuron ganglion trigeminal sensoris yang meng inervasi duramater. Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred pain, berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggal(first order) dan sensitisasi sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis(second order) dengan daerah reseptifperiorbital. Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred pain, terdiri atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talamik(third order) yang meliputi daerah reseptif seluruh tubuh. Pada penderita migren, disamping terdapat nyeri intrakranial juga disertai peninggian sensitivitas kulit.
Sehingga patofisiologi migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat di pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi set safar sentral terutama pada sistem trigeminal, yang memproses informasi yang berasal dari struktur intrakranial dan kulit.
Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow(CBF) yang dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan-pelan ke depan sebagai seperti suatu gelombang ("spreading oligemia'; dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3 mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi set saraf menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas set safar menurun menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam duramater, edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC (trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri kepala 9.16 Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS.
Proses tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada penderita migren. Fase sentral sensitisasi padamigren, induksi nyeri ditimbulkan oleh komponen inflamasi yang dilepas dari dura, seperti oleh ion potasium, protons, histamin, 5HT(serotonin), bradikin, prostaglandin Edi pembuluh darah serebral, dan serabut safar yang dapat menimbulkan nyeri kepala. Pengalih komponen inflamasi tersebut terhadap reseptor C fiber di meningens dapat dihambat dengan obat2an NSAIDs(non steroid anti inflammation drugs) dan 5-HT 1B/1D agonist, yang memblokade reseptor vanilloid dan reseptor acid-sensittive ion channel yang juga berperan melepaskan unsur protein inflamator) Fase berikutnya dari sensitisasi sentral dimediasi oleh aktivasi reseptor presinap NMDA purinergic yang mengikat adenosine triphosphat(reseptor P2X3) dan reseptor 5-HT IB/ID pada terminal sentral dari nosiseptor C tiber. Nosiseptor C-fiber memperbanyak pelepasan transmitter. Jadi obat2an yang mengurangi pelepasan transmitter seperti mu-opiate, adenosine dan 5-HT IB/ID reseptor agonist, dapat mengurangi induksi daripada sensitisasi sentral. Proses sensitisasi di reseptor meningeal perivaskuler mengakibatkan hipersensitivitas intrakranial dengan manifestasi sebagai perasaan nyeri yang ditimbulkan oleh berbatuk, rasa mengikat dikepala, atau pada saat menolehkan kepala.
Sedangkan sensitivitas pada sentral neuron trigeminal menerangkan proses timbulnya nyeri tekan pada daerah ektrakranial dan cutaneus allodynia. Sehingga ada pendapat bahwa adanya cutaneus allodynia (CA) dapat sebagai marker dari adanya sentral sensitisasi pada migren. Pada pemberian sumaptriptan maka aktivitas batang otak akan stabil dan menyebabkan gejala migrenpun akan menghilang sesuai dengan pengurangan aktivasi di cingulate, auditory dan visual association cortical. Hal itu menunjukkan bahwa patogenesis migren sehubungan dengan adanya aktivitas yang imbalance antara brain stem nuclei regulating antinoception dengan vascular control. Juga diduga bahwa adanya aktivasi batang otak yang menetap itu berkaitan dengan durasi serangan migren dan adanya serangan ulang migren sesudah efek obat sumatriptan terse but menghilang. Kruit MC34 dalam laporan penelitiannya yang dimuat pada The Journal of American Medical Association Januari 2004 vot 291 mengenai gambaran MRI yang supersensitif pada 161 pasien migren dibandingkan dengan 141 orang tanpa migren.
Temuan ini telah mengubah pandangan terhadap migren yang selama ini dianggap sebagai suatu episodic disorder dengan gejala transient menjadi suatu chronic progressive disorder yang mengakibatkan perubahan permanen dari parenkhim otak. Pada subyek kontrol tanpa migren didapati 38% adanya tiny brain lesion. Peneliti mendapatkan adanya lesi diotak yang lebih banyak dan lebih luas pada pasien wanita migren 2 kali banyak dibandingkan dengan laki2 secara signifikan. Pasien yang lebih sering mendapat serangan migren dan juga disertai aura lebih banyak menunjukkan lesi infark dibandingkan tanpa aura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar